(Ceritaku Protes)
LIBURKU Tak Ceria
Kawanku
nan jauh, hari ini aku ingin berbagi sedikit kisahku. Ku ceritakan kepadamu
kawan, mungkin karena yang sama-sama seusia belum banyak pikiran atau beban
kerja. Bukan ku bagi cerita ini kepada orang dewasa di istana, bukan bapak atau
ibu pejabat atau om dan tante wakil rakyat, ku tahu mereka sibuk bekerja, lelah,
memikirkan pembangunan, perekonomian, ku tak mau ceritaku menjadi bebannya. Aku
masih kecil tak bisa menjawab ketika ditanya apa yang kamu beri buat Ibu
Pertiwi. Jadi cukup aku dan kamu kawan. Aku bukan mengemis belas kasihan, aku
hanya berbagi padamu sahabat.
Sahabatku
se Indonesia, bersyukurlah yang hari ini bisa UTS meskipun soal sulit.
Berbahagia lah meskipun jauh berganti angkutan umum, masih bisa sekolah.
Senanglah masih bernyanyi meski tak beralas kaki berkumpul di sekolah. Tetap
ceria meski harus menyeberangi sungai melewati terjalnya gunung dapat berkumpul
teman menuntut ilmu dan belajar. Aku harus belajar di rumah sekolah libur, dan
tak tahu kapan akan masuk kembali, hingga kabut asap hilang.
Pagi
ini masih di rumah, di luar tampak gelap tapi bukan malam kawan ku masih tak
sekolah. Aku sedikit sebel dan kesel aku tak bisa main di luar. Aku tak bisa
berkumpul dengan teman di sini, ku harus belajar mandiri, ku pelajari sendiri
buku materi. Makanpun ku harus bisa sendiri, Bunda ku harus mengurus adikku
yang sudah 3 hari ini rewel, menangis badannya panas, demam. Bunda tampak lesu
kurang tidur sedikit batuk kecil. Ayahku juga begitu bibir kering sesekali
mengusap mata menghilangkan perih di mata dan batuk yang mulai dalam menyiksa.
Rumah sakit, puskesmas juga ramai anak-anak seusia aku dan adikku yang antri
diperiksa. Bahkan orang dewasa. Iiich asap jahat bikin sakit orang.
Hari
ini ku bangun pagi seperti biasa, tak kudengar tangis rewel adikku, mungkin
sudah membaik terlebih sembuh. Ku hampiri ke kamarnya, ku belai adikku, ku usap
badannya, benar badannya dingin, tak menangis. Sudah sembuh batinku, ku lihat
bunda dan ayahku matanya berlinang air mata. Bunda dan ayahku menangis, memanggilku,
memelukku dan mendekap erat sambil berbisik adik udah gag ngrasain sakit, adik
udah tenang, ku tak tahu artinya. Kalo tidak sakit kenapa ayah dan bunda
menangis. Tak lama keluarga bahkan tetangga datang menjabat tangan dan memeluk
ayah dan bunda. Esok harinya adikku digendong ayah menuju pemakaman. Ayah
mengumandangkan adzan. Tanah mulai menutup badan adikku. Bunda memelukku
semakin erat sambil menangis. Aku masih gag mengerti. Asap yang jahat, siapa
yang membuat asap sebanyak ini?
Ku
dengar dari berita karena pembakaran hutan. Kenapa? Kemana orang dewasa yang
punya hak menangkap?
Dan
adikku, ku tinggalkan bersama ayah dan bunda. Aku baru tahu arti sudah tak
ngrasain sakit lagi, asap gara-gara asap. Semua gara-gara asap.
Tapi
tangan mungilku hanya bisa menutup hidung dan mulutku sendiri
Sahabat
jika membaca ini jangan menjadi pikiranmu, juga orang tuamu. Aku hanya ingin
berbagi. Cukup kamu ya sahabat.
Jangan
sampai kamu merasakan sedih kami.
Jangan
kamu baca berulang kalau tak sanggup.
Terlebih
jika kamu bisa merasakan tak pernah ingin merasakan apa yang kami rasakan.
(Kisah ini sebagai protes melawan asap Sumatera-Kalimantan, mohon maaf jika ada kesamaan kisah)
(Kisah ini sebagai protes melawan asap Sumatera-Kalimantan, mohon maaf jika ada kesamaan kisah)
Solo,
20 Oktober 2015
-Pet-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar