INDEX
Judul buku : PENDIDIKAN PANCASILA
Penulis
: TIM PENULIS
FAKULTAS FILSAFAT UGM
Penerbit
: UNIVERSITAS TERBUKA
Cetakan ke : VIII
(8) APRIL 2007
Tebal
:
230 halaman + viii halaman
Modul 1
PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Kegiatan Belajar 1
LANDASAN PERKULIAN DAN PENGERTIAN PANCASILA
Seluruh warga negara kesatuan Republik
Indonesia sudah seharusnya mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai
Pancasila yang dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah.
Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan kausal,
pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab
pertanyaan bagaimana sehingga bersifat mendiskripsikan, adapun pengetahuan
kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga mengenai
sebab akibat (kausalitas).
Pancasila memiliki empat kausa :kausa
materialis (asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk),
kausa efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan).
Tingkatan pengetahuan normatif
merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah kemana. Adapun pengetahuan esensial
mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa sebenarnya), merupakan
persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui hakikat. Pengetahuan
esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang inti
sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk
mengkaji hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan tinggi, oleh
karena itu, tentulah tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan pada
sekolah menengah.
Tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempelajari dan mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait dengan
kebebasan yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa
yang kukuh, juga untuk memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar
mahasiswa memahami, menghayati dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam
kehidupan sehari-hari sebagai warga negara RI, juga menguasai pengetahuan dan
pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945.
Kegiatan Belajar 2
PANCASILA SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAH
Pengetahuan dikatakan ilmiah jika
memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, bermetode, bersistem, dan
bersifat universal. Berobjek terbagi dua yakni objek material dan objek formal.
Objek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga pokok soal
(subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk
diselidiki. Sedangkan objek formal adalah titik perhatian tertentu (focus of
interest, point of view) merupakan titik pusat perhatian pada segi-segi
tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. Bermetode atau mempunyai metode
berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang logis.
Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Bersistem atau
bersifat sistematis bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan yang
bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang yang saling berhubungan dan tidak
berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan keseluruhan. Bersifat universal,
atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa penelusuran kebenaran
tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju atau tidak
setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Pancasila
memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah sehingga dapat
dipelajari secara ilmiah.
Di samping memenuhi syarat-syarat
sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga memiliki susunan kesatuan yang
logis, hubungan antar sila yang organis, susunan hierarkhis dan berbentuk
piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila dapat juga diletakkan sebagai objek studi
ilmiah, yakni pendekatan yang dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan
pengamalan Pancasila yakni suatu penguraian yang menyoroti materi yang
didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan dengan segala uraian yang selalu dapat
dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada bahan-bahan tersebut. Sifat
dari studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala yang diuraikan
memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah terhadap
Pancasila antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis konstitutional,
dan pendekatan filosofis.
Modul 2
ASAL MULA PANCASILA
Kegiatan Belajar 1
TEORI
ASAL MULA PANCASILA
Asal
mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:
- Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
- Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
- Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya.
- Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri,
walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia
pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa
Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam
kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang
dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian,
kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya misalnya:
- Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, bukti-buktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia, bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan, pondok-pondok, semboyan aja dumeh, aja adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua meng-indikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, sebagai bukti-buktinya bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, semboyan bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumah-rumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan adanya sifat persatuan.
- Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di balai, dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia;
- Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya, penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi
nilai-nilai yang baik-baik yang digali dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai
kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila
merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan yang
lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan
diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.
Kegiatan Belajar 2
ASAL MULA PANCASILA SECARA FORMAL
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April
1945. Adanya Badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya
secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai
negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan
bala tentara Jepang di Jawa).
Badan penyelidik ini mengadakan sidang
hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945,
sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama
M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo
mengenai paham negara integralistik. Tindak lanjut untuk membahas mengenai
dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22
Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang
oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang kedua BPUPKI menentukan
perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama.
Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam anggota baru. Sidang
lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau
panitia sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Di samping menerima hasil
rumusan Panitia sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang
dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1)
Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota
berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno
Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia ekonomi dan keuangan dengan
ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian
membentuk lagi panitia kecil Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo.
Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah
dapat menyelesaikan tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi
Linkai), yang sering disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar.
Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan
panitia sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah
Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai
dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai mukaddimah. Hari
terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas
badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil
mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
- Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
- Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
- Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian
daerah propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang
ketiga tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang,
satu di antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22
Agustus 1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan
pembentukan Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang
keempat ini, maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi
bagian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan
pimpinan-pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan
masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan
Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok.
- Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
- Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
- Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari
tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
- Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
- Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
- Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
- Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
- Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
- Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI).
- Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).
Modul 3
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
Kegiatan
Belajar 1
PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia
dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila.
Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum
yang mengatur negara Republik Indonesia,
termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan
rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar
pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan
Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal
ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan
nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara
Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai
implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat
oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau
cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum
atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan
Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah
dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR,
undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Kegiatan Belajar 2
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai
pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap
kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan
hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama,
lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu
masyarakat maka akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah
pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya
mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa
di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di
dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi
bangsa Indonesia, sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama
Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal
dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila
sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut
sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian
memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping
merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur
bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang pada waktu
itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama
seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah seharusnya dihormati dan
dijunjung tinggi.
Modul 4
PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
Kegiatan Belajar 1
HUBUNGAN PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
Hubungan Secara Formal antara Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945: bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD’45; bahwa Pembukaan UUD’45
berkedudukan dan berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD’45 juga sebagai suatu
yang bereksistensi sendiri karena Pembukaan UUD’45 yang intinya Pancasila tidak
tergantung pada batang tubuh UUD’45, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila
sebagai inti Pembukaan UUD’45 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat,
tetap, tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI.
Hubungan Secara Material antara
Pancasila dan PembukaanUUD 1945: Proses Perumusan Pancasila: sidang BPUPKI
membahas dasar filsafat Pancasila, baru kemudian membahas Pembukaan UUD’45;
sidang berikutnya tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama
Pembukaan UUD’45.
Kegiatan Belajar 2
KEDUDUKAN HAKIKI PEMBUKAAN UUD’45
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia
karena terlekat pada proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah
baik secara formal maupun material. Adapun kedudukan hakiki Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah pertama; Pembukaaan Undang-Undang Dasar
memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci, yaitu
proklamasi kemerdekaan yang singkat dan padat 17 Agustus 1945 itu ditegaskan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedudukan hakiki Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang kedua adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum
Indonesia. Maksudnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral rakyat
Indonesia yang luhur (Suhadi, 1998). Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang ketiga adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat
sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu tujuan negara, bentuk negara,
asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang pembentukan UUD.
Kedudukan
hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terakhir adalah bahwa Pembukaan
UUD 1945 mengandung adanya pengakuan terhadap hukum kodrat, hukum Tuhan dan
adanya hukum etis atau hukum moral. Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
terdapat unsur-unsur, bentuk-bentuk maupun sifat-sifat yang me-mungkinkan
tertib hukum negara Indonesia mengenal adanya hukum-hukum tersebut. Semua unsur
hukum itu merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi negara dan hukum positif
Indonesia.
Modul 5
PELAKSANAAN PANCASILA
Kegiatan Belajar 1
PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap
pemikiran dan pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya
prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip
ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus
konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila
harus mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun
vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba
menjawab jalur-jalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan
Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran
Pancasila, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran
akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur
pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran
Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas
pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2)
masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu
Subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran
mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang
sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas
dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan
jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu
penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum
dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para
penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke
dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan.
Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan
konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai
metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak
semuanya dapat dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan
memerlukan jalur lain yang membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran
Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah,
ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan
utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih
mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek
koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan
justru kontra produktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan
demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi
pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat
dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi
pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat
diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan
politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang
tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait
dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam
dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan objektif
adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap
aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif,
dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan
dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap
penguasa dan setiap orang Indonesia.
Menurut Notonagoro pelaksanaan
Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat
menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan
subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui
proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa
pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak
dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk
perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka
tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara
negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak
akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar
Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila
dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan
pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya
sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Kegiatan Belajar 2
REFORMASI PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata
kembali keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi
kadang disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua
boleh”, penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan
penting yang harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan reformasi,
antara lain sebagai berikut.
- Reformasi bukan revolusi
- Reformasi memerlukan proses
- Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan
- Reformasi menyangkut masalah struktural dan kultural
- Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda
- Reformasi memerlukan arah
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi
antara lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di
bidang hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung
selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek
KKN, kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya
memperbaiki segenap tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik,
ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan
reformasi, agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain:
pertama, mengatasi krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga
melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut
dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk
dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai
tuntutan dan euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan
pertimbangan, antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya
aset nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali
persatuan yang hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila
sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan sosiologis bangsa
Indonesia
yang sangat plural baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun agama.
Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar negara
berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi bahwa
para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut mengamandemen Pembukaan
UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang
merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila
adalah tidak satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan
pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam
satu kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik
kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum
diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos dan digunakan untuk
menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat
diperdebatkan namun kiranya penting bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila,
antara lain: Pertama, mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke
arah yang lebih konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang
sangat ideologis (untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan
pemikiran Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu dengan
menggeser pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme pribadi, kelompok, atau
partai, dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme sosial,
politik, budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama
dalam pemikiran politik kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan
terjadi karena beberapa hal, di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap
atau ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan
filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi, asas dan
norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar dan perundang-undangan
lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di luar pondasi. Kenyataan
ini membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak
dapat memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk
diadakan amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga
judicial review yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan
prosedural suatu produk hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada
para penyelenggara negara adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan
nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan
menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya.
Sosialisasi Pancasila juga mendapat
kritik tajam di era reformasi, sehingga keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998
untuk mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran
tentang sosialisasi Pancasila itu antara lain: menghindari jargon-jargon yang
tidak berakar dari realitas konkret dan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa
arti, sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian Pancasila”, slogan bahwa
masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka tunggal ika, padahal dalam
kenyataan bangsa Indonesia dari dulu juga saling bertempur, melaksanakan
Pancasila secara murni dan konsekuen, dan lain-lain. Menghindari pemaknaan
Pancasila sebagai proposisi pasif dan netral, tetapi lebih diarahkan pada
pemaknaan yang lebih operasional, contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai
kalimat kerja aktif, seperti masyarakat dan negara Indonesia harus
….. mengesakan Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil dan beradab,
mempersatukan Indonesia, memimpin rakyat dengan hikmat/kebijaksanaan dalam
suatu proses permusyawaratan perwakilan, menciptakan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sosialisasi diharapkan juga dalam rangka lebih bersifat
mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan membodohkannya sebagaimana yang terjadi
pada penataran-penataran P-4, sehingga sosialisasi lebih kritis, partisipatif,
dialogis, dan argumentatif.
Modul 6
PANCASILA DAN PERMASALAHAN AKTUAL
Kegiatan Belajar 1
PANCASILA DAN PERMASALAHAN SARA
Konflik itu dapat berupa konflik
vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si kuat dengan si
lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara mayoritas dengan minoritas, dan
sebagainya. Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik
antarumat beragama, antarsuku, atarras, antargolongan dan sebagainya. Jurang
pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang tersusun atas berbagai unsur yang
sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan.
Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi
munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di
atas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan
pandangan. Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak
memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut
antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan
“Persatuan Indonesia“. Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam
Pembukaan terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang
Warga Negara, terutama tentang hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan
terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia
juga diakui,
(1) seperti yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945
tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah,
(2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak
kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya
Indonesia;
(3) penjelasan
Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat
disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers negara Indonesia
sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik
pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain.
Justru pluralitas itu merupakan aset
yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa. Beberapa prinsip yang dapat digali
dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan masalah
SARA ini antara lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya
pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah
ke-indonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada,
sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi
dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak sejalan
dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika
tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber bahan
Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat
istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat.
Dalam konteks ini pemikiran tentang
toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari
nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegera yang
diterima oleh masyarakat
Kegiatan Belajar 2
PANCASILA DAN PERMASALAHAN HAM
Hak asasi manusia menurut Perserikatan
Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu
mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan demikian eksistensi
hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti
kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan
lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
Masalah HAM merupakan masalah yang
kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam
membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang
hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga
masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan
itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu
HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan
diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember
1948. (3) Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral
antara negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk
penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik
ulur antara paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme
menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru dunia.
Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi
yang khas tentang HAM sesuai dengan latar belakang historis kulturalnya,
sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi
tentang HAM, yaitu
(1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip
moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling
asasi.
(2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya
dengan hak-hak kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan
bangsa atau negara tertentu.
(3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular
karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak
asasi manusia dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang
Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam
Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan
dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26
ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang
sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan
(Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33
ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945,
antara lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga
tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut
adalah hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan
HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan
pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan
Presiden.
Masalah HAM
juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi
Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia.
Pada bagian
pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari
pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak
asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia
terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara
eksplisit antara lain:
- Hak untuk hidup
- Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
- Hak mengembangkan diri
- Hak keadilan
- Hak kemerdekaan
- Hak atas kebebasan informasi
- Hak keamanan
- Hak kesejahteraan
- Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
- Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah
Tap ini merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada
UUD 1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kegiatan
Belajar 3
PANCASILA
DAN KRISIS EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba
ternyata tidak berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi
yang besar, baik antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya
melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs dolar
yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis
kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya ekonomi.
Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak
diterapkannya prinsip-prinsip ekonomi dalam kelembagaan, ketidak- merataan
ekonomi, dan lain-lain. yang juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli,
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh para penyelenggara Negara.
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada filsafat
Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN sering
disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam
Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama, tidak
semata-mata mengejar materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang memiliki
unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi
mandiri. Sistem demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia,
menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat
hidup rakyat banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat bukan
kemakmuran individu.
Sistem ekonomi Pancasila dibangun di
atas landasan konstitusional UUD 1945, pasal 33 yang mengandung ajaran bahwa
(1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi,
sosial, dan moral; (2) Seluruh warga masyarakat bertekad untuk mewujudkan
kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan adanya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial; (3) Seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan
pemerintah selalu bersemangat nasionalistik, yaitu dalam setiap putusan-putusan
ekonominya menomorsatukan tujuan terwujud-nya perekonomian nasional yang kuat
dan tangguh; (4) Koperasi dan bekerja secara kooperatif selalu menjiwai pelaku
ekonomi warga masyarakat. Demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Perekono-mian
nasional yang amat luas terus-menerus diupayakan adanya keseimbangan antara
perencanaan nasional dengan peningkatan desentralisasi serta otonomi daerah.
hanya melalui partisipasi daerah secara aktif aturan main keadilan ekonomi
dapat berjalan selanjutnya menghasilkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar